Perkawinan Monogam dan Seks Sebagai Media Cinta Kasih


  1. I. Pendahuluan

Perkawinan secara menyeluruh memuat sejumlah aspek kemanusiaan manusia. Secara kodrati itu menjadi tuntutan fundamental manusia yang membutuhkan orang lain sebagai rekan dalam kelangsungan hidup. Hal ini dimulai dengan menyeleksi dan memilih satu pribadi yang dinggap pantas menjadi partner yang dapat saling memahami, memiliki dan memberi. Relasi yang terbentuk melalui perkawinan membutuhkan pengorbanan lahir batin. Maka ketika perkawinan itu dilihat dari konteks keutuhan pribadi manusia, perkawinan adalah familiaris consortio atau kesenasiban hidup keluarga yang melibatkan jiwa-raga dalam arti yang sesungguhnya.[1] Penyerahan diri yang total kepada pasangan adalah konsekuensi logis memulai sebuah jalinan cinta kasih. Karena itu, perkawinan merupakan gejala serba majemuk dalam personalitas seorang manusia.

Tuntutan menjalin relasi bersama pasangan memposisikan manusia pada sebuah pemenuhan janji kesetiaan terhadap pasangan hidup menikah. Hakekat perkawinan Katolik yang monogam dan tak tercerikan menuntut sebuah konsekuensi yang tidak ringan. Konsili Vatikan II memaklumkan hakekat perkawinan, meskipun ada suara-suara yang menganjurkan perceraian dalam situasi sulit, tetap pada hasil kontistusinya untuk mempertahankan pola relasi ini demi pemenuhan rahmat kerajaan Allah. Pendasaran ini kokoh berdiri diatas pandangan cinta Allah terhadap Israel sebagai umat pilihan yang tetap saja setia dan tidak meninggalkan mereka. Kesetiaan manusia menjadi jawaban mutlak terhadap cinta Allah yang demikian itu.

Sakramen perkawinan yang diteguhkan dalam perjanjian mendapat realisai dalam relasi intim suami istri. Hubungan ini menjadi simbol keutuhan dan penyempurnaan cinta kasih pasangan suami istri. Prokreasi dan erotisme bukan menjadi tujuan utama lagi dalam perkawinan. Seks yang ada pada manusia menjadi tindakan khas suami isatri untuk mengabil bagian dari karya agung Allah dalam mewartakan keselamatan. Keseluruhan aspek manusiawi dan ilahi dalam diri manusia hanyut dalam jalinan mesra cinta yang diungkapkan dalam persetubuhan. Pemenuhan ini menjadikan kesatuan yang sempurna suami istri sebagai jawaban atas janji sakramental yang telah diucapkan.

 

  1. II. Perkawinan dalam Gereja Katolik

2.1. Perkawinan sebagai Sebuah Perjanjian

Perkawinan dalam Gereja Katolik mengalami perubahan makna. Awal sejarah gereja melihat perkawinan sebagai kontrak. Kontrak yang terjdi bermakna persetujuan antara pria dan wanita untuk sekedar hidup bersama dengan tujuan utamanya prokreasi. Menghasilkan keturunan menjadi fokus utama kontrak. Nilai perkawinan semata-mata hanya untuk pelestarian hidup manusia. Secara perlahan pandangan dalam gereja mulai bergerak ke arah yang lebih dalam. Gereja memperdalam makna kontrak sebagai sebuah perjanjian (covenant feodus) atau sebuah pakta yang membentuk satu persekutuan hidup dan cinta yang mesra.[2] Gereja juga memperdalam tujuan perkawinan dengan tetap memperhatikan tujuan awal perkawinan yaitu prokreasi tetapi juga menekankan peran saling menolong sebagai suami istri dan obat penawar nafsu seksual.[3] Secara kodrati seks merupakan sebuah tindakan fisik-badaniah tapi maknanya jauh lebih dalam sebab memiliki daya menyembuhkan, menyejukkan dan menenteramkan hati.[4]

Pandangan ini ditegaskan dalam Gadium et Spes 49 pada konstitusi pastoral tentang gereja di dunia dewasa ini yang menegaskan seks sebagai suatu tindakan khas dalam perkawinan untuk meluhurkan dan mengormati hubungan suami istri yang dijalankan secara sungguh manusiawi serta tanda penyerahan diri yang timbal balik.[5]

 

2.2. Relasi Persona

Perkawinan yang sakramental mengindikasikan satu relasi inter subyek pria dan wanita. Kodrat relasii ni dibangun atas dasar hak atas tubuh (ius in corpus) yang dipahami sebagai pemberian dan pernyerahan diri secara total. Penyerahan diri secara total berarti mengungkapkan kesatuan dua persona.[6] Ungkapan penyerahan diri secara total ini terungkap dalam hubungan intim suami istri sebagai mana tertuang dalam Kanon 1061 § 1 yang menyatakan bahwa perkawinan ratum et consumatmum sebagai penyempurna perkawinanan sakramental.[7] Mereka bukanlah dua melainkan telah menjadi satu persona dalam ikatan perjanjian yang luhur. Penekanannya pada komitmen dan tanggung jawab pribadi.

 

2.3. Monogam dan Tak Tercerikan

Ciri perkawinan sakramental gereja Katolik ialah monogam dan tak terceraikan. Perceraian dalam gereja Katolik merupakan satu bentuk pengingkaran perjanjian. Kanon 1056 menegaskan ciri ini demi terciptanya perkawinan yang luhur dan kekal.[8] Sifat ini menegaskan satu kesatuan utuh dalam ikatan perkawinan yang telah diikat melalui sakramen sebagaimana yang talah dirangkum dalam Kanon 1056 dan 1057 § 1dan 2.[9] Perkawinan merupakan lambang ikatan cinta Allah kepada umatnya. Pernyataan cinta ini sungguh-sungguh mewakili cinta Allah yang setia dan menyelamatkan (Hos.2:16).[10] Pemberian diri untuk dimiliki teraplikasi secara nyata dalam kesetiaan dan saling menerima yang tulus tak akan dapat ditarik kembali. Persekutuan suami istri dalam dialog keintiman yang dibangun atas dasar ini menghilangkan egoisme masing-masing pribadi. Keutamaan cinta yang tunggal terhadap pasangan akan menjawab setiap kebutuhan unsur-unsur seksual, personal dan sosial.

  1. III. Seks: Media Cinta Kasih Suami Istri

3.1. Sakralitas Seks

Hubungan intim suami istri mengalami transisi dari sekedar pelampiasan hasrat seksual yang erotis dan manusiawi menjadi konsep yang lebih mulia. Allah menjadi intim dengan umatnya karena pada saat inilah janji pekawinan terungkap. Ini menggemakan misteri inkarnasi, Tuhan mengambil wujud manusia.[11] Hubungan intim suami istri menyempurnakan cinta kasih dan memperkaya tiap pribadi dalam unsur dan tanda-tanda istimewa persahabatan suami istri.

Lebih lanjut, Yohanes paulus II menegaskan bersatunya tubuh suami dan istri menjadi satu daging dalam hubungan intim mereka yang sah memperlihatkan hubungan antara Kristus dan gerejanya.[12] Pernyataan paus ini semakin mempelihatkan keutamaan dan dimensi sakralitas hubungan intim antara suami dan istri. Penyataan cinta ini menjadi sesuatu yang tansenden dan memiliki orientasi yang luhur karena bukan saja ditujukan demi kenikmatan cinta eros dan prokresi. Bersatunya suami istri menjadi satu daging ikut mengambil bagian dalam pewartaan gereja.

 

3.2. Penyerahan Diri Total dan Saling Memiliki

Pada dasarnya, setiap manusia hanya mungkin mewujudkan kepenuhan dirinya lewat relasi dengan orang lain. Syarat mutlak keutuhan relasi suami istri terungkap dalam pemberian hak atas tubuh. Seks memberikan kontribusi penyatuan dua persona menjadi satu pribadi yang utuh. Penyerahan diri total sebagai persona kepada pasangan mewujudkan kesatuan paling dasariah dua persona dalam kungkungan jalinan cinta kasih yang tulus. Seks merupakan puncak pemberian diri total untuk saling memiliki sekaligus membuka ruang antara suami istri untuk saling mengisi kekosongan jiwa yang mebutuhkan belaian intim cinta pribadi lain.

Pengenalan yang mendalam terhadap pasangan menjamin kekudusan cinta Allah kepada manusia yang tinggal bersama dengan mereka. Persekutuan suami istri dikuatkan dan disemangati dalam semangat inkarnasi dan penebusan yang meresapi seluruh bagian kehidupan suami istri dengn iman, harapan dan cinta kasih.[13]

 

3.3. Penguat Perjanjian

Janji perkawinan yang diucapkan pasangan suami istri saat menerima sakramen perkawinan mendapat realisasi untuk saling menerima dan menyerahkan diri secara total dalam persetubuhan. Persetubuhan antara suami istri menjamin perjanjian yang diucapkan bersama dan tidak dapat ditarik kembali. Pemenuhan janji Allah dan jawaban manusia sungguh-sungguh terimplementasi dalam relasi intim pasangan suami istri. Allah sungguh-sungguh hadir melalui perjanjian atas dasar penyerahan diri secara total dan keterbukaan pasangan suami istri. Perjanjian (covenant feodus) mendapat jaminan yang istimewa sekaligus berahmat dalam persetubuhan. Seks telah meninggalkan makna erotisme dan bertumbuh ke arah yang kudus sebagai ungkapan cinta kasih yang mesra suami istri.

Sepanjang hidup perkawinan janji itu terus diperbaharui dan senantiasa mendapat semangat baru. Kanan 1055 menegaskan sekali lagi bahwa perjanjian perkawinan antara suami dan istri secara kodrati mengarahkan suami istri pada kesejahteraan dalam cinta Yasus Kristus di antara orang-orang yang telah dibabtis.[14]

 

  1. IV. Penutup

Cinta kasih Allah menjadi sempurna dalam ungkapan cinta suami istri. Persetubuhan menjadi kudus dan berhasil menjadi perantara dalam mengugkapkan personalitas manusia dalam relasi intim suami istri yang mesra. Cinta kasih suami istri yang sejati yang terungkap dalam pemberian diri secara total akan diangkat tinggi dengan mengedepankan kesaksian kesetiaan dan kemesraan dalam cinta itu. Seks telah menjelma menjadi bahasa iman yang menghantar manusia pada taraf yang lebih tinggi untuk hidup dalam persatuan dan perjanjian yang kudus. Gereja menjadi sungguh manusiawi sekaligus ilahi karena penghayatan cinta kasih yang mengantar suami istri kepada pencerahan makna terdalam yang terungkap dalam persetubuhan. Hubungan suami istri terselenggara secara sempurna dalam cinta Allah yang menyelamatkan. Keutuhan perkawinan yang monogam dan tak terceraikan mendapat pemaknaan sakramental melalui aktus menjadi satu badan oleh dua persona yang saling terbuka dan memberi dalam persetubuhan dan jalinan cinta mesra.

 

Daftar Pustaka

  1. Dokumen

Dokumen Konsili Vatikan II (penerj. R. Hardawiryana).Jakarta:Obor,2002.

Sekertariat KWI. Kitab Hukum Kanonik. Jakarta: Obor, 2003.

  1. Buku

Bria, Benyamin Yosef.  Pastoral Perkawinan Gereja Katolik menurut Kitab Hukum Kanonik 1983: Kajian dan Penerpan. Jakarta: Yayasan Pustaka Nusantara, 2010.

 

Maas, C, Teologi Moral Perkawinan. Maumere: STFK Ledalero, 1997.

 

Mirsel, Robert. Pasanganku Seorang Katolik. Maumere: LPBAJ, 2001.

 

Ramadhani, Deshi. Lihatlah Tubuhku: Membebaskan Seks Bersama Yohanes Paulus II Yogyakarta: Kanisisus, 2009.

 

Sujoko, Albertus. Belajar Menjadi Manusia: Berteologi Moral menurut Bernard Haring, CSsR. Yogyakarta: Kanisius, 2009.

 


[1] Albertus Sujoko, Belajar Menjadi Manusia: Berteologi Moral menurut Bernard Haring, CSsR (Yogyakarta: Kanisius, 2009), p.36.

[2] Mgr. Benyamin Yosef  ,Bria,Pr,  Pastoral Perkawinan Gereja Katolik menurut Kitab Hukum Kanonik 1983: Kajian dan Penerpan ( Jakarta: Yayasan Pustaka Nusantara, 2010), p. 33.

[3] Ibid., p.33

[4] Roberet Mirsel, SVD, Pasanganku Seorang Katolik ( Maumere: LPBAJ, 2001), p. 115.

[5] Dokumen Konsili Vatikan II. (penerj. R Hardawiryana), (Jakarta: Obor, 2002), p.572.

[6] Mgr. Benyamin Yosef Bria, Pr, Loc. Cit., p. 33.

[7] Sekertariat KWI, Kitab Hukum Kanonik (Jakarta: Obor,2003), pp.41-42.

[8] Ibid. p.41.

[9] Ibid.,p 304.

[10] Dr. C. Maas SVD, Teologi Moral Perkawinan ( Maumere: STFK Ledalero,1997), p.31.

[11]Deshi Ramadhani, Lihatlah Tubuhku: Membebaskan Seks Bersama Yohanes Paulus II (Yogyakarta: Kanisisus, 2009), p.187.

[12] Ibid., p. 175.

[13] Dr. C. Maas, Op. Cit., p. 85.

[14] Ibid., p. 85

Post a comment or leave a trackback: Trackback URL.

Tinggalkan komentar